(ISEFID-KL) Sebagaimana pada jum’at-ju’mat yang lalu, ISEFID pada hari Jumat, 20 April 2018 mengadakan kajian pekanan, yakni kajian Basic Fiqh Mu’malah bersama Ahlis Fatoni, mahasiswa PhD di IIUM Institute of Islamic Banking and Finance (IiiBF). Kajian tersebut bertemakan “akad-akad yang dilarang dalam Fiqh Mu’amalah”. Pemateri pada awal kajian menyitir Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 29 yang menyatakan bahwa janganlah seseorang memakan harta saudaranya secara bathil, artinya melakukan transaksi yang dilarang oleh syariat. Hal ini didukung oleh sebuah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Abbas bahwa apabila Allah telah melarang suatu barang, maka terlarang pula jual beli atasnya.
Sebelum melanjutkan lebih dalam terkait materi transaksi terlarang, pemateri memberikan tambahan informasi mengenai shighah akad atau ucapan Ijab-Qabul dalam transaksi. Para ulama bersepakat bahwa ucapan Ijab (penyerahan) dan Qabul (penerimaan) adalah wajib diucapkan dalam akad nikah. Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat tentang pengucapan Ijab-Qabul dalam transaksi komersial atau mu’amalah. Imam Syafi’i menyatakan bahwa dalam akad mu’amalah, seperti jual-beli dan lainnya mengharuskan adanya pengucapan Ijab dan Qabul sebagai tanda transaksi telah berjalan. Hal ini juga diamini oleh Imam an-Nawawi, salah satu ulama Syafi’iyyah terkenal yang bahkan mengejar seseorang yang mengambil jubah beliau agar transfer kepemilikan melalui hibah bisa sah terjadi. Tentu ketentuan ini berimplikasi tidak sahnya transaksi dengan vending machine yang tidak mengenal adanya pengucapan Ijab dan Qabul. Sementara itu, ulama jumhur menyampaikan bahwa pengucapan Ijab-Qabul tidak wajib sehingga bisa tetap sah berjalan.
Pemateri kemudian melanjutkan pemaparan mengenai transaksi yang dilarang dalam syariat. Transaksi yang dilarang dalam syariat dapat dikategorikan menjadi tiga buah. Pertama, haram lidzatihi atau dilarang karena aktivitas atau objek transaksinya haram. Aktivitas yang diharamkan syariat meliputi judi (maysir), riba, aktivitas terkait bisnis khamr atau minuman memabukkan, dan aktivitas terkait perzinahan. Sementara objek transaksi yang dilarang syariat adalah daging babi dan turunannya, bangkai, sembelihan orang musyrik, anjing, khamr, dan berhala.
Kategori kedua ialah haram lighairihi atau haram di luar aktivitas atau objek akadnya. Cukup banyak transaksi yang tergolong dalam kategori ini. Pertama, transaksi yang bersifat gharar atau mengandung ketidakpastian. Transaksi gharar adalah transaksi yang ketidakpastiannya akan mendatangkan kerugian bagi salah satu kedua belah pihak. Ada lima cakupan transaksi gharar:
- Bai’ul Habalul Habalah, yakni jual-beli janin ternak yang masih berada dalam kandungan induknya. Transaksi ini dilarang sebab tidak ada yang tahu pasti bagaimana kondisi janin saat lahir, apakah sangat baik, atau catat, atau bahkan mati dalam kandungan.
- Bai’ul Hashah, yakni jual-beli tanah yang luasannya ditentukan oleh lemparan batu. Hal ini mengandung ketidakpastian karena luas tanahnya tergantung kekuatan sang pelempar.
- Bai’ul Mulamasah, yakni jual-beli pakaian dengan pembeli hanya dibolehkan menyentuh pakaian tanpa melihat lebih lanjut, apakah motifnya cocok ataukah ada cacat, sehingga mengandung ketidakpastian.
- Bai’ul Munabadzah, yakni jual-beli pakaian antara dua orang yang saling melemparkan barangnya kepada pihak lain sehingga telah dianggap terjadi jual-beli barter pakaian. Hal ini mengandung ketidakpastian karena para pihak tidak dapat mengecek adakah cacat pada barang yang diterimanya.
- Bai’ul Ma’dum, yakni seseorang yang menjual suatu barang yang belum dimilikinya. Hal ini tidak berlaku apabila dilakukan transaksi secara salam, yakni pembeli menyerahkan seluruh uang kepada penjual untuk mengadakan barang, atau transaksi istishna’, yakni seseorang membayar berdasarkan capaian pengadaan barang oleh penjual, atau penjual merupakan wakil atau agen dari produsen. Hal ini karena adanya transaksi salam, istishna’, dan wakalah menyiratkan adanya kepercayaan pembeli kepada penjual dan penjual sendiri telah diakui sebagai seorang yang terpercaya, sehingga unsur ketidakpastian telah diminimalisir.
Transaksi yang tergolong haram lighairihi selanjutnya adalah Tadlis atau penipuan yang dilakukan oleh salah satu pihak. Ada sejumlah bentuk dari tadlis, yaitu:
- Tadlis pada kuantitas barang, seperti pedagang yang mengurangi kadar timbangannya untuk menipu pembeli.
- Tadlis pada kualitas barang, seperti pedagang yang menyembunyikan cacat barang.
- Tadlis pada harga (ghabn), yakni perilaku pedagang menaikkan harga dengan memanfaatkan ketidaktahuan konsumen akan harga pasar.
- Tadlis pada waktu penyerahan, seperti janji penyerahan barang pada suatu waktu yang sebenarnya penjual tersebut tahu tidak mungkin menepatinya.
Masih dalam kategori haram lighairihi, tidaklah juga dibenarkan seseorang membeli atau menjual barang dengan pihak lain apabila pihak lain tersebut terpaksa melakukannya, seperti membeli rumah seseorang dengan harga murah dengan memanfaatkan kondisi ekonomi pemilik rumah yang tengah terjepit utang. Hal ini melanggar kaidah an-taradhin minkum atau sukarela antara dua belah pihak, sebagaimana difirmankan Allah di surah An-Nisa’ ayat 29.
Bagian terakhir dari kategori haram lighairihi adalah zhalim. Di antara transaksi yang tergolong zhalim adalah sebagai berikut:
- Ihtikar, yakni seorang penjual menimbun barang untuk menimbulkan kelangkaan dan kenaikan harga, sehingga saat barangnya dijual ia mendapatkan untung. Dalam bahasa ekonomi, hal ini disebut sebagai supply manipulation.
- Najasy, yakni seorang penjual bekerja sama dengan pihak lain untuk seolah-olah menawar dengan harga tinggi sehingga mengelabui para konsumen bahwa barangnya adalah barang yang bagus. Dalam bahasa ekonomi, hal ini disebut sebagai demand manipulation. Dua poin di atas adalah bentuk kezhaliman kepada pembeli.
- Samsaran, yakni pembeli yang mencegat penjual untuk mencapai pasar sehingga dapat membeli barang dengan harga di bawah harga pasar. Hal ini biasa ditemui dalam praktik tengkulak hasil tani. Hal ini mengandung kezhaliman bagi petani atau penjual
- Praktik jual beli di atas jual beli orang lain. Misalkan seseorang telah membeli suatu buku dari penjual disertai penyerahan tangguh, kemudian datang orang lain yang membeli buku yang sama dengan harga lebih tinggi sehingga penjual mengalihkan barang yang tadi sebenarnya telah ditransaksikan. Hal ini dilarang karena menzhalimi pembeli pertama.
Kategori terakhir ialah transaksi yang akadnya tidak lengkap syarat akadnya. Dalam fiqh mu’amalah, apabila rukun akad bermasalah, maka transaksi tergolong bathil dan harus diulangi. Sementara itu, apabila syaratnya yang tidak lengkap, maka akad tergolong fasid dan harus diperbaiki dahulu. Salah satu bentuk dari transaksi pada kategori ini adalah ta’alluq, yakni transaksi yang pelaksanannya bergantung pada akad/transaksi lain. Di antara bentuknya ialah:
- Bai’ul ‘Inah, misalkan A menjual suatu barang kepada B seharga Rp 1.000 secara kredit dan kemudian A membeli lagi barang yang sama dari B seharga RP 800 secara tunai. Transaksi ini difatwakan haram oleh mayoritas sebab mengandung hilah atau rekayasa hukum untuk melegalkan riba. Hal ini dikarenakan keinginan dua belah pihak bukanlah karena barang, tetapi karena keinginan B untuk mendapatkan uang tunai segera dan keinginan A mendapatkan untung dari selisih harga tunai dan kredit.
- Bai’ul Tawarruq, misalkan A menjual suatu barang kepada B seharga Rp 1.000 secara kredit dan kemudian B menjualnya kepada C secara tunai seharga Rp 800. Transaksi ini disebut sebagai tawarruq hakiki atau transaksi tawarruq sebenarnya dan dibolehkan oleh ulama. Akan tetapi, dalam praktiknya, seringkali B diarahkan oleh A untuk menjual kepada C sehingga terbentukan tawarruq yang terorganisir atau disebut tawarruq munazzam yang difatwakan haram oleh ulama karena adanya indikasi hilah seperti kasus Bai’ul ‘Inah.
- Bai’ul Wafa, misalkan A menjual suatu barang kepada B seharga Rp 1.000 dan A bersepakat untuk membeli kembali barang yang sama dari B seharga Rp 1.000 juga setelah jangka waktu tertentu. Sebagian ulama mengatakan bahwa trannsaksi ini haram karena membatasi hak kepemilikan B yang telah membeli barang, sementara sebagian ulama lainnya mengatakan halal karena inti dari transaksi ini adalah seperti rahn atau gadai.
Terakhir, pemateri memberikan nasihat bahwa syariat Islam bukanlah untuk menyulitkan manusia, melainkan mengarahkannya agar menggapai berkah. Berkah sendiri dapat dipahami sebagai kondisi yang ketika ia sedikit maka cukup, saat ia banyak maka tidak membahayakan. Wallahu a’lam.
*diliput oleh Imam Wahyudi Indrawan, mahasiswa Master of Economics IIUM.