“Transaksi yang diperbolehkan dalam Islam adalah transaksi yang terbebas dari unsur riba, gharar dan maysir”.
(ISEFID-KL) Begitulah rangkuman dari sesi kajian ISEFID basic tanggal 2 Maret lalu yang disampaikan oleh Ahlis Fathoni, mahasiswa PhD IIUM.
Tujuan dari kajian ISEFID yang membahas tentang riba, gharar dan maysir ini adalah adanya pemahaman terhadap transaksi yang dilarang dalam agama Islam, yaitu yang mengandung 3 elemen; riba, gharar dan maysir, dan mengarah pada kedzaliman. Sebagaimana Ibnu Qudamah mengatakan, “Sesungguhnya, ketahuilah bahwa transaksi yang tidak diharamkan artinya boleh”. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh mu’amalah, al-aslu fi-l-mu’amalah al-ibahah.
RIBA
Arti riba secara bahasa yakni ‘bertumbuh’ (az-ziyadah). Secara istilahi, riba bermaksud penambahan atas harga pokok tanpa adanya bisnis riil. Para ulama sepakat mengatakan bahwa hukum riba adalah haram dan tidak ada perbedaan khilafiyah terhadap hukum riba. Adapun riba tidak serta-merta diharamkan dalam satu tahap, akan tetapi melalui beberapa tahap, yakni:
- Surat Ar-Rum ayat 39
Konsep bunga (interest) yang diterapkan oleh orang Yahudi di Vatikan pada hakikatnya bertujuan untuk membantu orang lain. Namun, dibantah oleh Allah SWT bahwa sesungguhnya itu bukanlah bantuan kecuali zakat.
- Surat An-Nisa ayat 160-161
Pendapat yang mengatakan jual-beli dan pinjam-meminjam itu sama. Yahudi menyamakan konsep jual-beli (profit based) dan pinjam-meminjam. Dalam pinjaman yang mereka berikan kepada orang lain, mereka meminta upah yang diakui sebagai profit. Namun, hal ini dibantah oleh Allah SWT dalam surat ini.
- Surat Ali Imran ayat 130
Terkait dengan pinjaman yang berlipat ganda. Para Yahudi berkilah bahwa yang dilarang adalah nominal yang dibayarkan berlipat ganda. Padahal, perjanjian mereka juga diharamkan.
- Surat Al-baqarah ayat 278-279
Ayat ini menerangkan bahwasanya dalam riba terdapat kedzaliman yang nyata untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Dalam tahap terakhir ini, praktek ribawi telah diharamkan secara mutlak.
Berdasarkan hadits, barang-barang yang termasuk dalam barang ribawi ada 6 kategori, yaitu emas, perak, gandum, sya’ir, kurma dan garam. 6 barang ini harus ditukar secara sejenis dan kontan. Adapun barang ribawi ini dikategorikan dalam 2 kategori secara umum. Kategori pertama adalah alat tukar transaksi yang termasuk didalamnya emas dan perak. Kategori kedua adalah makanan pokok yang terdiri dari gandum, sya’ir, kurma dan garam. Alat tukar transaksi harus ditukarkan secara tunai dan sama nilai. Begitupun dengan makanan pokok. Namun, antara alat tukar dan makanan pokok boleh ditransaksikan tanpa mengikut ketentuan dalam hadits, yaitu boleh tidak secara tunai dan tidak sama nilai.
Secara bentuknya, ada 2 jenis riba, yaitu riba nasi’ah (riba ad-dayn) dan riba fadl (riba al–bai’). Riba nasi’ah yakni riba yang terdapat dalam pinjaman uang. Contohnya adalah ketika seseorang meminjamkan uang kepada orang lain dan pemberi pinjaman mewajibkan peminjam untuk mengembalikan uangnya lebih banyak dari apa yang dipinjam jika melebihi tempo waktu yang ditetapkan. Jenis kedua yaitu riba fadl. Riba fadl terdapat dalam transaksi, mata uang, dan sebagainya. Contoh riba fadl adalah ketika 1kg beras ditukarkan dengan 1kg beras dan tidak secara tunai.
GHARAR
Arti gharar secara bahasa yakni ‘tidak jelas’. Salah satu contoh gharar adalah ketika membeli tanah menggunakan lemparan batu. Gharar diharamkan karena ada unsur kebathilan sebagaimana yang disebutkan dalam surat An-Nisa ayat 29. Dalam ekonomi, Islam lebih mengutamakan bisnis riil yang berwujud karena unsur gharar yang minim.
Adapun gharar bisa ditinjau dalam 3 peristiwa. Yang pertama yaitu jual beli ma’dum. Yaitu jual beli barang yang belum berwujud. Contohnya adalah jual beli janin yang masih dalam kandungan. Karena janin yang dikandung tidak diketahui jelas kondisinya saat dilahirkan. Yang kedua adalah jual beli barang majhul. Yakni jual beli barang yang tidak jelas. Contohnya adalah jual beli mobil tanpa deskripsi. Dan yang terakhir adalah jual beli barang yang tidak dapat diserahterimakan. Contohnya, jual beli ikan yang ada di laut.
Gharar terdapat dalam berbagai bentuk; harga, barang dan akad. Dalam hadits, Rasulullah SAW mengharamkan adanya 2 harga dalam satu akad. Gharar diharamkan dalam Islam untuk menghindari kedhaliman di kedua belah pihak.
Berdasarkan hukumnya, gharar dikategorikan dalam beberapa jenis, yaitu gharar yang disepakati larangannya, gharar yang diperbolehkan dan gharar yang diperselisihkan. Jenis pertama, gharar yang disepakati larangannya adalah gharar yang jelas dan gharar yang besar. Gharar jenis ini mutlak diharamkan tanpa adanya khilafiyah. Jenis kedua, gharar yang diperbolehkan yaitu gharar yang sudah menjadi satu kesatuan dengan objek transaksi dan tidak dapat dipisahkan. Ibnu Taimiyah menyatakan gharar yang kecil diperbolehkan. Contoh gharar yang masuk dalam kategori ini adalah pondasi rumah (ketika membeli rumah, pembeli tidak mengetahui spesifikasi pondasi yang dipakai dalam pembangunan rumah). Jenis ketiga, gharar yang diperselisihkan. Yang termasuk dalam kategori gharar ini adalah jual beli tanaman yang masih berada dalam tanah. Ada beberapa ulama yang membolehkan dan ada yang tidak memperbolehkan. Salah satu solusi mencegah keghararan dalam kategori ini adalah dengan merujuk kepada historical panennya.
MAYSIR
Maysir bisa disebut juga dengan judi. Secara istilahi, judi bermaksud ketika ada satu pihak yang diuntungkan dan pihak lain yang dirugikan dan tidak ada usaha dalam mendapat keuntungan tersebut. Dalam surat Al-Maidah ayat 90, judi disandingkan dengan dosa-dosa besar.
Judi dibagi menjadi 2 macam; dalam bentuk permainan dan dalam bentuk taruhan. Judi sebenarnya termasuk dalam kategori gharar karena ketidakjelasannya. Beberapa ulama ada yang mengharamkan asuransi karena mengandung unsur judi.
*diliput oleh Asmaniatur, mahasiswa IIUM