(Isefid-KL) Terbukti bahwasanya zakat memiliki peranan yang signifikan dalam upayanya untuk menurunkan angka kemiskinan dan mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan bagi para mustahiq zakat. Itulah point terpenting yang bisa dirangkum dari kajian mingguan ISEFID Kuala Lumpur pada 23 Februari 2018 yang menghadirkan Qurroh Ayuniyyah, seorang kandidat PhD di Economics department, KENMS, IIUM. Bertempat di ruang PLB, KENMS IIUM, selama kurang lebih satu setengah jam beliau memaparkan hasil penelitian doktoralnya yang dilakukan di tiga kota dan dua kabupaten di Jawa Barat.
Terinspirasi dari CIBEST model yang diinisiasi oleh akademisi dari IPB yaitu Irfan Syauqi Beik dan Laily Dwi Arsyianti, Qurroh pun mencoba melakukan penelitian mengenai dampak program distribusi zakat yang dilakukan oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) terhadap penurunan angka kemiskinan dan pengurangan ketimpangan distribusi pendapatan. CIBEST adalah sebuah indeks yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan mustahiq zakat untuk selanjutnya digolongkan menjadi empat bagian/kuadran. Berbeda dengan model pengukuran angka kemiskinan yang lain, CIBEST tidak hanya mengukur kemiskinan secara material, namun juga spiritual.
Adapun kuadran pertama yang dinamai kuadran Welfare (W) adalah golongan orang-orang yang sholeh secara spiritual dan juga berkecukupan secara materi/harta. Kuadran yang kedua adalah kuadran Material Poverty (MP) yang berisi kelompok orang yang sholeh secara spiritual namun tidak berkecukupan secara materi. Kuadran yang ketiga yakni kuadran Spiritual Poverty (SP) diisi oleh orang-orang berkecukupan secara materi namun tidak sholeh secara spiritual. Dan yang terakhir, kuadran keempat adalah kuadran Absolute Poverty (AP) yang terdiri dari kumpulan orang-orang yang tidak sholeh secara spiritual dan juga tidak berkecukupan secara materi. Tujuan zakat adalah membawa para mustahiq bergerak menuju ke kuadran pertama dan mencegah agar jangan sampai masuk dan menetap di kuadran keempat.
Untuk tolok ukur seseorang telah memiliki kecukupan dalam hal materi, Mahasiswi yang dulunya juga menempuh master di IIUM tersebut menggunakan standar nishab untuk zakat pertanian. Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 52 tahun 2014, nishab zakat pertanian sebesar 524 kg beras. Setara dengan 283,29 USD atau kurang lebih Rp 3,2 juta rupiah. Jika dalam satu rumah tangga pendapatannya kurang dari angka Rp 3,2 juta, maka rumah tangga tersebut bisa dikategorikan sebagai mustahiq dan berhak untuk menerima zakat.
Adapun untuk tolok ukur kesholehan spiritual, Alumni S1 IPB tersebut menggunakan beberapa indikator ibadah, antara lain keimanan, terlaksananya sholat wajib & sunnah, puasa wajib & sunnah, zakat & infaq, baca Al-Qur’an, kesediaan untuk hadir di majlis ilmu, dan juga faktor lingkungan dalam rumah tangga maupun di luar rumah tangga seperti kebijakan pemerintah setempat. Indikator-indikator tersebut diranking menggunakan likert scale dengan skala 1 sampai 5 untuk kemudian dibagikan kepada responden yaitu para mustahiq zakaat binaan Baznas. Tolok ukur minimal agar bisa digolongkan sebagai orang sholeh adalah mendapatkan skala tiga.
Selain mengukur kemiskinan baik secara material maupun spiritual, Qurroh juga mengukur ketimpangan distribusi pendapatan di antara para mustahiq zakat dengan menggunakan koefisien Gini. Koefisien Gini memikiki nilai dari 0 sampai dengan 1. Semakin rendah koefisien Gini berarti semakin merata distribusi pendapatan antar mustahiq, sebaliknya jika semakin tinggi koefisien Gini berarti semakin timpang distribusi pendapatan antar mustahiq.
Penelitian yang melibatkan 1309 responden tersebut melakukan pengambilan data di kota Depok, kota Bogor, kota Sukabumi, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi pada bulan Januari hingga April 2017. Qurroh melakukan komparasi dua kondisi ekonomi dan spiritual mustahiq zakat, yaitu pada saat sebelum dan setahun pasca mendapatkan distribusi zakat dari Baznas.
Walhasil, diketahui setelah setahun mendapatkan bantuan dari Baznas, para mustahiq yang berdomisili di pedesaan mengalami kenaikan pendapatan hingga 31%, sedangkan mustahiq yang berada di perkotaan mengalami kenaikan hanya 9%. Tingginya kenaikan pendapatan di kategori pedesaan besar kemungkinan karena adanya penyaluran zakat produktif dan pendampingan ekonomi lainnya dari Baznas. Sebagaimana diketahui, Baznas memiliki empat program dalam mendistribusikan ZIS. Adapun keempat program tersebut, yaitu bantuan pendidikan/beasiswa, bantuan pelayanan kesehatan, bantuan yang bersifat konsumtif untuk keperluan sehari-hari dan yang terakhir adalah bantuan modal usaha sebagai upaya Baznas untuk memberdayakan mustahiq agar dana zakat lebih produktif.
Adapun dari sisi spiritualitas, para mustahiq yang mendapatkan bantuan dana ZIS hampir semua mengalami kenaikan kadar spiritualitas, kecuali kabupaten Bogor yang cenderung stagnan dan bahkan sedikit mengalami penurunan. Hal tersebut disinyalir karena bantuan finansial yang diberikan kepada para mustahiq tidak dibarengi dengan pembinaan rohani oleh petugas Baznas. Berbeda halnya dengan kabupaten Sukabumi, di mana peneliti menemukan bahwasanya petugas zakatnya melakukan pembinaan dan controlling terhadap aktivitas ibadah para mustahiq. Harapannya, kalaupun sekarang tidaklah terlalu beruntung di dunia, tapi upayakan kelak akan berbahagia di akhirat.
Hasil dari CIBEST quadrant, juga menunjukkan terjadinya pergeseran angka pada semua kuadran. Setahun pasca pendistribusian zakat, jumlah orang di kuadran pertama/welfare (kaya dan sholeh) meningkat sedangkan jumlah orang di kuadran ketiga/spiritual poverty (kaya tapi tidak sholeh) menurun. Hal tersebut bisa jadi dikarenakan sejumlah orang dari kuadran ketiga mengalami peningkatan kualitas spiritual sehingga mereka bergerak naik ke kuadran pertama.
Hal yang sama terjadi pada dua kuadran yang lain. Jumlah orang di kuadran kedua/material poverty (miskin tapi sholeh) meningkat sedangkan jumlah orang di kuadran keempat/absolute poverty (miskin dan tidak sholeh) menurun. Hal tersebut bisa jadi mengindikasikan secercah keberhasilan pembinaan rohani dari Baznas terhadap mustahiq. Meskipun belum ada peningkatan kemampuan ekonomi dari para mustahiq di kuadran keempat, setidaknya ada perbaikan kualitas spiritual sehingga mereka bisa merangsek naik ke kuadran kedua.
Ketimpangan distribusi pendapatan yang diukur menggunakan koefisien Gini juga mulai mengalami perubahan pasca setahun pendistribusian zakat pada mustahiq. Koefisien Gini yang semula berada pada angka 0,431 turun menjadi 0,412. Dalam artian, kesenjangan pendapatan antar mustahiq zakat kini tampak membaik dan tidak separah tahun sebelumnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa distribusi zakat yang dilakukan oleh Baznas terbukti efektif meningkatkan kapasitas ekonomi para mustahiq dan mempersempit kesenjangan pendapatan.
Terakhir, beliau memberikan saran bagi yang ingin melanjutkan riset di bidang tersebut dengan cara memperluas penggunaan indeks. Tidak hanya menggunakan indeks CIBEST, tapi juga diintegrasikan dengan indeks pengukur kemiskinan konvensional lainnya semisal Sen index, headcount ratio, dan lain-lain. Sehingga hasil analisisnya akan lebih komprehensif dan bisa dikomparasikan. Baik dari hasil pengukuran sisi material saja dengan menggunakan indeks yg konvensional maupun juga dari hasil pengukuran sisi material dan spiritual seperti yang diperoleh dari penggunaan indeks CIBEST. Selain itu, riset tersebut juga bisa dilanjutkan dengan mencobanya di daerah lain (geographical coverage) ataupun menggunakan amil zakat selain BAZNAS (institutional coverage) seperti LAZ yang sudah marak dikenal yakni Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, dan lain-lain. Wallahu a’lam.
*diliput oleh Vicky Vendy, mahasiswa MSc Accounting IIUM.