Hijrah dari Riba: Pendekatan Sejarah Pengharaman Riba

Riba menjadi pembahasan hangat apabila membahas fikih muamalat atau ekonomi Islam. Haramnya riba sudah merupakan hal yang diketahui dalam agama (ma’lum nid ad din bidh dharurah).

Pembahasan tentang riba ini meningkat setelah tingginya kesadaran keislaman bagi kalangan menengah ke atas. Apalagi setelah terlanjur menyimpan dana tabungan di bank konvensional, banyak di antara mereka secara sukarela menutup akun di bank tersebut.

Belum lagi diikuti oleh pegawai bank konvensional, sebagian dari mereka berbondong-bondong memilih resign dari pekerjaannya dengan mencoba pendekatan yang lebih realistis. Fenomena ini dikenal dengan istilah ‘Gerakan Hijrah’ bagi ex-banker.

Gerakan hijrah ini di satu sisi sangat sejalan dengan semangat para aktifis ekonomi syariah, yang dari dulu membangun infrastruktur secara perlahan agar masyarakat muslim terhindar dari riba.

Tulisan ini ingin membantu pembaca untuk melihat perspektif sejarah pengharaman riba agar memudahkan ulama dalam berfatwa dan merealisasikan tujuan maqashid lain selain menjaga agama, serta tidak hanya sekedar ghiroh tanpa diikuti cara yang lebih baik untuk hijrah dari riba.

Riba: Dimulai Periode Mekah, Haram di Periode Madinah

Perbedaan periode Mekah dan Madinah tidak hanya membantu dalam memahami tujuan dan maksud ayat Alquran, tetapi juga menjelaskan proses agar bisa lepas dari hal yang diharamkan, termasuk riba.

Periode Mekah lebih fokus kepada akidah, akhlak, cerita para nabi dan rasul. Tujuan periode Mekah ini mempersiapkan akidah umat Islam dengan keyakinan penuh kepada Allah serta yakin dengan pahala dan azab yang akan didapatkan di akhirat.

Dari ma’rifatullah serta mengetahui pokok-pokok Islam, mudah membentuk semangat umat Islam -khususnya para sahabat nabi ketika itu- untuk beramal saleh serta menjauhi kemungkaran. Inilah yang membentuk akhlak dan siap untuk menerima taklif yang lebih berat. Proses ini membentuk kesiapan umat Islam untuk berhijrah kepada sistem kehidupan yang ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Sedangkan periode Madinah, disinilah turun hukum-hukum sosial serta perundang-undangan. Masyarakat Islam akan mudah menjalankan hukum-hukum sosial ini apabila sudah terbentuk keyakinan yang penuh kepada Allah dan perintah Rasulullah.

Masyarakat yang belum yakin dengan rezeki dari Allah akan sulit berpindah kepada sistem hidup yang menuntut penyerahan diri secara total kepada perintah Allah.

Tidak akan mungkin mereka bisa meninggalkan riba bila keyakinan akan rezeki belum utuh, dan juga bila tidak dibarengi akidah yang percaya akan hari akhir dan ancaman memakan riba di neraka.

Sulit akan hijrah kepada sistem baru ini. Itulah kenapa Alquran turun dengan perlahan agar masyarakat Islam dapat berhijrah dengan perlahan menuju hijrah total.

Empat Tahapan Pengharaman Riba

Terdapat 4 proses pengharaman riba. Tahap pertama terjadi di periode Mekah, dan selabihnya di periode Madinah. Periode pertama diwahyukannya surat Ar-Rum: 39, ayat Makkiyah, beberapa tahun sebelum hijrah. Ayat ini hanya mencela riba dan memuji berzakat. Allah berfirman,

وَمَآ اٰتَيْتُمْ مِّنْ رِّبًا لِّيَرْبُوَا۠ فِيْٓ اَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُوْا عِنْدَ اللّٰهِ ۚوَمَآ اٰتَيْتُمْ مِّنْ زَكٰوةٍ تُرِيْدُوْنَ وَجْهَ اللّٰهِ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُضْعِفُوْنَ

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).” (Ar-Rum: 39).

Periode kedua ialah dengan diwahyukannya surat An-Nisa ayat 160-161. Ayat ini turun setelah terjadi perang Khaibar tahun 7 H antara kaum muslimin melawan Yahudi Khaibar. Disini uslub bahasa dalam ayat ini hanya memberitakan bahwa dulu riba diharamkan untuk Bani Israel, akan tetapi mereka membangkang perintah Allah dengan memakan harta riba. Jadi disini hanya mengingatkan kaum muslimin agar tidak seperti Bani Israel yang membangkang Allah dengan mengonsumsi yang haram. Allah berfirman,”

فَبِظُلْمٍ مِّنَ الَّذِيْنَ هَادُوْا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبٰتٍ اُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَثِيْرًاۙ وَّاَخْذِهِمُ الرِّبٰوا وَقَدْ نُهُوْا عَنْهُ وَاَكْلِهِمْ اَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۗوَاَعْتَدْنَا لِلْكٰفِرِيْنَ مِنْهُمْ عَذَابًا اَلِيْمًا

“Karena kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan bagi mereka makanan yang baik-baik yang (dahulu) pernah dihalalkan; dan karena mereka sering menghalangi (orang lain) dari jalan Allah. dan karena mereka menjalankan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara tidak sah (batil). Dan Kami sediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka azab yang pedih.” (An-Nisa: 160-161).

Selanjutnya masih di periode Madinah, ayat sudah melarang memakan harta riba, tetapi masih di tahap riba yang berlipat. Jadi masih dibolehkan memakan riba yang tidak berlipat ganda. Periode ketiga ini ditandai dengan firman Allah di surat Ali Imran: 130-132,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوا الرِّبٰوٓا اَضْعَافًا مُّضٰعَفَةً ۖوَّاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَۚ . وَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِيْٓ اُعِدَّتْ لِلْكٰفِرِيْنَ. وَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَۚ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.  Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan bagi orang kafir. Dan taatlah kepada Allah dan Rasul (Muhammad), agar kamu diberi rahmat.”

Dalam ayat ini tidak terlepas dari himbauan untuk takwa, ajakan untuk kembali memperkuat iman kepada hari akhir dan taat kepada Allah dan Rasul sebagai manifestasi iman. Barulah setelah mapan, disempurnakan perintah meninggalkan riba ketika haji Wada’ tahun 10 H.

اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِ ۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ. يَمْحَقُ اللّٰهُ الرِّبٰوا وَيُرْبِى الصَّدَقٰتِ ۗ وَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ اَثِيْمٍ. اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ لَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْن. يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَذَرُوْا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبٰوٓا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ. فَاِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْا فَأْذَنُوْا بِحَرْبٍ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖۚ وَاِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوْسُ اَمْوَالِكُمْۚ لَا تَظْلِمُوْنَ وَلَا تُظْلَمُوْنَ

“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan bergelimang dosa. Sungguh, orang-orang yang beriman, mengerjakan kebajikan, melaksanakan salat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.  Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman. Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan).” (Al Baqarah: 275-279)

Proses 1 sampai 4 ini untuk memastikan agar umat Islam bisa lepas dari riba dengan lebih elegan disamping dipersiapkan dari awal Islam turun dengan persiapan akidah yang kokoh agar bisa melaksanakan taklif dengan sempurna.

Hijrah dari Riba, Cara Ideal dan Realita

Untuk bisa lepas dari riba, paling ideal ialah langsung meninggalkannya secara total. Seperti dalam ayat Al Baqarah 275-279, Mereka ini bisa dikatakan ahlul ‘azimah -orang yang bisa melaksanakan taklif dengan sempurna- yang meninggalkan semuanya dengan cara hanya mengambil modal/pokoknya dan menginfakkan keuntungan atau bunga yang menjadi harta riba kepada lembaga kemanusiaan.

Tetapi yang perlu dilihat, semua orang tidak semua berada dalam kondisi yang ideal ini. Bisa jadi karena keadaan ekonomi yang menuntutnya untuk tidak bisa lepas dari riba, seperti karyawan yang bekerja di bank konvensional.

Mereka yang tidak berada di kondisi ideal ini menjadi ahlul rukhshoh, orang yang diberi rukhsoh untuk tidak menjalankan syariat secara sempurna. Kalangan ini sadar dengan haramnya riba dan segala ancaman bagi setiap pihak yang terlibat, tetapi bila difatwakan untuk hijrah hari itu juga akan memberatkan, sedangkan dari awalnya umat Islam dikondisikan agar bisa meninggalkan riba dengan lebih elegan.

Kepada ahlul rukhshoh ini, disinilah peran penasehat keuangan syariah untuk memberi penyuluhan dan bimbingan agar bisa lepas dari riba dengan lebih “elegan”. Diberi tenggat waktu atau diberi opsi yang lebih realistis untuk bisa memindahkan bisnisnya atau tabungannya dari riba.

Ini dinilai lebih ringan dijalankan daripada fatwa yang menuntut hijrah secara radikal padahal tidak semua orang dalam satu derajat untuk bisa melaksanakan taklif.

Para akademisi dan praktisi dalam bidang ini terus berikhtiar dalam menggiatkan gerakan hijrah ke ekonomi syariah serta memperbaiki dan menyempurnakan sistemnya. Semua saran dari penasehat keuangan dan fatwa dari ulama lagi-lagi bisa dilaksanakan bagi mereka yang sudah kuat akidah dan pemahamannya dalam beragama.

Penutup

Bagi yang sadar dengan agama, mereka sudah mengetahui haramnya riba, tetapi mereka bisa menjadi ahlul azimah yang bisa dengan sempurna melaksanakan perintah agama ini. Akan tetapi ada diantara mereka yang masuk golongan ahlul rukhshoh.

Bagi ulama dan pakar ekonomi syariah, seyogyanya membantu agar golongan ahlul rukhshoh ini bisa hijrah dengan lebih terstruktur tanpa mengorbankan lapangan pekerjaannya, nafkah hariannya yang disana juga merealisasikan tujuan hifzhul nasf (menjaga nyawa), hifzhul nasal (menjaga keturunan), dan hifzhul mal (menjaga harta).

Penulis : Kieren Akbar
(Mahasiswa Master of Fiqh dan Usul Fiqh, IIUM)

Editor : Zsa Zsa Indah Fadhila

News Reporter

Leave a Reply

%d bloggers like this: