Industri Halal sebagai Kekuatan Baru Ekspor Indonesia

Oleh: Imam Wahyudi Indrawan- Postgraduate IIUM

Beberapa waktu lalu, dalam forum rapat kerja Kementerian Perdagangan, Presiden Joko Widodo menunjukkan ketidakpuasannya atas kinerja kementerian yang dipimpin Enggartiasto Lukita tersebut. Salah satu indikator yang menurut Presiden mengecewakan adalah tertinggalnya nilai ekspor Indonesia dibandingkan negara-negara tetangga. Dalam data yang dirilis oleh Bank Dunia, per 2016 nilai ekspor Indonesia secara keseluruhan mencapai 178 miliar dolar Amerika Serikat, masih kalah dari negara tetangga seperti Singapura (511 miliar dolar), Thailand (280 miliar dolar), Malaysia (200 miliar dolar) dan Vietnam (192 miliar dolar).

Padahal, Indonesia telah memiliki 19 Pusat Promosi Perdagangan Indonesia (Indonesia Trade Promotion Center atau ITPC) dan 23 Atase Perdagangan yang tersebar di seluruh dunia. Menurut Presiden, Kementerian Perdagangan khususnya ITPC di seluruh dunia harus lebih aktif dalam mempromosikan produk-produk Indonesia kepada dunia. Bahkan Presiden mengancam akan membubarkan ITPC bila tidak mampu memberikan inovasi dan berkontribusi bagi peningkatan ekspor nasional.

Pada forum yang terselenggara pada 31 Januari lalu tersebut, Presiden juga menyebutkan bahwa Indonesia masih terlalu terpaku pada negara-negara tujuan ekspor tradisional, seperti China, Amerika Serikat dan Jepang. Sementara itu, potensi pasar yang besar di negara-negara berkembang seperti Pakistan dan Bangladesh tidak tergarap. Menurut data The Observatory of Economic Complexity (OEC), tujuan ekspor Indonesia didominasi oleh Eropa (13%), China (12%), Amerika Serikat dan Jepang (masing-masing 11%). Sementara itu, negara-negara berkembang belum banyak digarap eksportir Indonesia meskipun memiliki yang potensi. Pasca kunjungannya dari negara-negara Asia Selatan, Presiden menyatakan bahwa di Bangladesh ada sebuah kegiatan expo atau pameran, namun justru tidak diikuti oleh Indonesia. Oleh karena itu, salah satu harapan Presiden yang disampaikan pada forum rapat kerja Kementerian Perdagangan adalah peningkatan ekspor ke negara-negara yang potensial, seperti Bangladesh dan Pakistan yang berpopulasi sekitar 367 juta jiwa.

Apabila disimak, selain harapan eksplisit bahwa perlunya Indonesia mendorong ekspor ke negara-negara berkembang, secara implisit harapan Presiden seharusnya dapat menjadi dorongan bagi pemerintah, utamanya Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian untuk memperkuat ekspor dari produk industri halal nasional. Hal ini karena Pakistan dan Bangladesh yang menjadi contoh pasar potensial menurut Presiden Jokowi adalah dua negara mayoritas Muslim dan anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Dengan jumlah penduduk yang besar, tentu potensi untuk eskpor produk, khususnya konsumsi rumah tangga sangat besar. Namun, dengan mayoritas populasi dua negara tersebut beragama Islam, maka semua produk yang masuk ke dalam negara tersebut haruslah produk yang tersertifikasi halal demi memenuhi kebutuhan umat Islam. Maka pengembangan industri halal nasional yang berorientasi ekspor memiliki momentum dari harapan Presiden di atas.

Namun, sejumlah tantangan masih perlu dijawab oleh pemerintah dalam kaitannya pengembangan industri halal indonesia yang berorientasi ekspor. Salah satunya adalah permasalahan mengenai daya saing. Terdapat sebuah studi menarik yang dilakukan oleh Sari Wahyuni dan Kwan Kee Ng pada tahun 2012 yang meneliti tentang sejarah daya saing Indonesia yang dapat menjadi refleksi bagi pengembangan industri halal nasional berbasis ekspor. Dalam studi tersebut, setidaknya ada dua isu krusial yang menentukan tingkat daya saing Indonesia.

Pertama, adanya visi yang jelas dari pemerintah mengenai arah pengembangan suatu sektor ekonomi dengan integrasi yang baik antara aspek politik dan ekonomi dari visi tersebut. Dalam konteks pengembangan industri halal, Indonesia belum memiliki visi atau master plan pengembangan industri halal. Hal tersebut disampaikan oleh Imam Haryono, Dirjen Pengembangan Perwilayahan Industri, Kementerian Perindustrian dalam sesi utama Seminar dan Workshop Industri Halal yang berlangsung di ajang Indonesia Shari’a Economy Festival (ISEF) di Surabaya pada tahun lalu. Hal ini menunjukkan pemerintah secara terbuka mengakui bahwa pengembangan industri halal di Indonesia belum memiliki visi dan arah yang jelas. Padahal, tanpa visi atau master plan yang jelas, tentu pengembangan industri halal nasional belum terintegrasi sehingga belum dapat mendukung ekspor nasional. Oleh karena itu, pemerintah perlu segera menentukan visi yang jelas mengenai industri halal nasional, utamanya terkait orientasi ekspor yang dari industri halal.

Kedua, visi dari pemerintah harus diterjemahkan menjadi regulasi yang dapat dilaksanakan. Di Indonesia, regulasi yang terkait dengan industri halal telah diundangkan. Setidaknya ada dua regulasi, yakni UU No. 18 tahun 2012 tentang Pangan yang mengamanatkan adanya produk jaminan produk halal dan kemudian dituangkan dalam UU No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Ketiadaan visi dari pemerintah mengenai industri halal menyebabkan regulasi yang ada masih terbatas pada sertifikasi halal dari produk. Padahal, agar industri halal dapat menopang ekspor nasional, perlu adanya regulasi yang mengatur secara terintegrasi sistem bisnis dan insentif bagi pengembangan industri halal.

Maka tampaknya pemerintah perlu belajar dari negara tetangga, yakni Malaysia dalam pengembangan industri halal. Malaysia memiliki visi yang kuat dalam pengembangan industri halalnya. Visi tersebut tertuang dalam Malaysian Halal Master Plan 2008-2020 yang digagas Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi. Dalam master plan tersebut, disebutkan bahwa Malaysia bercita-cita menjadi pemimpin global dalam pengembangan industri halal dan sektor terkait serta menjadikan industri sebagai sumber perekonomian yang baru. Sementara itu, dari sisi regulasi, Malaysia telah mengatur jaminan produk halal tiga tahun lebih awal dari Indonesia, karena jaminan halal telah diatur dalam Trade Description Act 2011.

Selain terkait jaminan produk halal, Malaysia juga mengembangkan Halal Industry Development Corporation (HIDC) yang menjadi lembaga yang bertanggung jawab mewujudkan visi dalam Malaysian Halal Master Plan, yakni mewujudkan integrasi seluruh sektor terkait industri halal sehingga dapat menopang pertumbuhan ekonomi Malaysia. Malaysia juga memiliki pusat riset dan pelatihan halal, salah satunya adalah International Institute for Halal Research and Training (INHART) yang terletak di International Islamic University Malaysia (IIUM). Dengan visi dan regulasi yang jelas serta didukung kelembagaan negara yang kuat, maka tidak heran Malaysia mulai muncul sebagai negara terkemuka dalam industri halal global, sebagaimana tampak pada Global Islamic Economy Report 2016.

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk pengembangan industri halal yang berorientasi ekspor. Perlambatan ekonomi global dan fluktuasi harga komoditas sumber daya alam global menuntut Indonesia untuk melakukan diversifikasi ekspor, baik dari sisi produk maupun negara tujuan agar tidak tertinggal dari negara tetangga. Ekspor ke negara-negara dengan populasi Muslim, utamanya yang mayoritas adalah peluang yang baik mengingat populasi Muslim dunia yang besar dan terus bertumbuh, namun belum tergarap maksimal oleh eksportir nasional. Visi yang jelas serta didukung oleh regulasi dan kelembagaan yang kuat adalah syarat mutlak agar Indonesia tidak hanya sekedar pasar bagi produk halal dari negara lain. Lebih dari itu, industri halal berorientasi ekspor harus dikembangkan menjadi kekuatan baru ekonomi Indonesia di masa mendatang.

News Reporter
Isefid Adalah sebuah forum ekonomi islam yang berjuang untuk membangun indonesia lebih baik kedepannya dengan berlandaskan ajaran ajaran islam

Leave a Reply

%d bloggers like this: