Krisis Ekonomi Akibat Covid-19: Perspektif Keuangan Publik Islam

(IsefidKl) ISEFID IIUM melaksanakan kajian webinar keempat pada Rabu, 06 Mei 2020 dengan pembicara Bapak Dr. Ugi Suharto dan dimoderatori oleh Bapak Imam Wahyudi Indrawan, M.Ec.

Tepat 2 bulan semenjak kasus Covid-19 pertama di bulan Maret melanda Indonesia, kemudian mulai banyak asumsi dari pakar ekonomi mengenai dampak yang ditimbulkannya. Dr. Ugi pun menanggapi bahwa Covid-19 ini akan mengantarkan negara ke gerbang resesi.

Invisible Hand VS Market is Imperfect

Merujuk pada teori Keynesian dalam penanggulangan krisis ekonomi, negara harus menaikkan tingkat government spending (pengeluaran pemerintah) untuk mengatasi sebuah resesi.

Merujuk pada solusi tersebut, realitanya negara justru mengalami keterbatasan untuk menaikkan government spending, hal ini dilihat dari banyak hal yaitu: sisi pajak yang masih belum maksimal, penerbitan bond (surat hutang) yang terbentur rating dan ambang batas dari ‘debt to GDP ratio’, peminjaman ke IMF yang menyebabkan terdiktenya sistem keuangan/perekonomian negara, kebijakan moneter, kebijakan mencetak uang sendiri, dan kondisi yang serba dilematis.

Beliau mengatakan, justifikasi dari kapitalis yang menyebutkan bahwa pasar bisa menyelesaikan segala masalah perekonomian dengan adanya teori campur tangan ‘invisible hand’, ternyata berkebalikan dengan kenyataan bahwa sebenarnya ‘market is imperfect’.

Fokus ketidak-sempurnaan dari ‘market is imperfect’ terletak pada masalah distribusi -rantai ekonomi yang masih tidak bisa diselesaikan oleh pasar- yang kemudian berimbas terhadap lebarnya gap antara si kaya dan si miskin.

Selain market failure, faktor government failure juga menyempurnakan level dari ketidak-efisiensi pasar.

Islamic Guidance 

Ketidak-sempurnaan yang menyebabkan gap tersebut, sebenarnya dapat disempurnakan dengan instrumen Islamic guidance yang telah dikaji oleh para Ulama mengenai topik-topik keuangan Islam, diantaranya Kitab al-Amwal karangan Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam.

Seringnya, pembahasan mengenai keuangan publik Islam dalam kitab al-Amwal selalu menyinggung instrumen zakat, dan dari sinilah zakat dipercaya sebagai sektor ketiga penyeimbang sektor publik dan swasta yang telah ada.

Fokus pada pembahasan zakat, Bapak Ugi menuturkan bahwa zakat mengandung karakter religius dan karakter politik. Karakter politik ini mulai lenyap karena zakat yang seharusnya dibayar melalui pemerintah, tetapi para muzakki memilih mendistribusikannya secara individual, sehingga yang tertinggal hanyalah aspek religius.

Inilah salah satu penyebab kurang efektifnya zakat sebagai instrumen fiskal serta alat distribusi yang netral.

Zakat sebagai instrumen keuangan publik dalam Covid-19 ini berpotensi besar dalam ‘cash transfer’ yang merupakan bagian dari ‘transfer payment/government transfer payment’ sehingga dapat memberikan dampak positif dalam ekonomi makro/keuangan publik kepada para mustahik.

Banyak negara telah mengadopsi ‘transfer payment’ pada kasus Covid-19 ini, salah satunya USA yang menggelontorkan dana 2 trillion USD untuk Covid-19 secara individu, baik itu untuk orang lokal yang single, yang telah menikah, maupun orang tua yang memiliki anak usia dibawah 17 tahun. Jika dicermati secara sekilas, zakat itu seperti pajak tapi sejatinya bukanlah pajak.

Pajak yang memiliki tujuan kepada kelembagaan (development) sangat berseberangan dengan zakat yang tujuannya lebih kepada personal (transfer payment).

Negara yang telah mengintegrasikan antara zakat dan pajak adalah Malaysia, sehingga zakat masuk ke dalam instrumen fiskal dan bisa sebagai pengganti pajak ‘tax rebates’. Hasilnya, pengintegrasian pajak dan zakat tidak mempengaruhi pendapatan pajak itu sendiri.

Diakhir kajian, narasumber memberikan rekomendasi usulan kepada Baznas selaku Badan Amil Zakat di Indonesia, yaitu:

  1. Peningkatan komitmen ke-Islaman pemerintah dan Baznas sehingga masyarakat/muzakki lebih trust untuk menyalurkan zakatnya tanpa khawatir untuk disalah-gunakan;
  2. Pemberian transfer payment kepada para mustahiq dalam kondisi Covid-19;
  3. Pengadaan database orang-orang fakir dan miskin di seluruh Indonesia, untuk pemberian bantuan yang real-time dan mencegah kesalahan pendistribusian;
  4. Perkenalan kepada publik ‘success story’ dari proses transformasi para mustahiq menjadi seorang muzakki.

(Red: Zsa Zsa Indah Fadhila)
Video webinar bisa diakses di akun Youtube ISEFID IIUM

News Reporter

Leave a Reply

%d bloggers like this: