
Berbicara tentang operasi bisnis perusahaan publik/terbuka, berarti berbicara mengenai pemisahan fungsi kepemilikan (ownership) dan pengendalian (controlling) didalamnya. Pemilik yang merupakan pemegang saham mempunyai otoritas tertinggi untuk mempengaruhi manajer yang menjadi agen di perusahaannya, hal ini dikarenakan target yang harus dicapai oleh para manajer agar performa perusahaan menjadi lebih baik, terutama pada perusahaan yang diawasi oleh negara seperti Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia, atau Government Linked Companies (GLC) di Malaysia.
Alih-alih menyajikan informasi yang benar, perilaku oportunistis manajer terkadang muncul. Manajer cenderung akan melakukan perubahan informasi keuangan tertentu dengan beberapa teknik yang tidak terdeteksi oleh pengguna laporan keuangan. Hal ini akan memicu asimeteri informasi keuangan sehingga pengguna laporan keuangan akan “tertipu” oleh informasi yang disajikan pengelola perusahaan. Hasil dari perilaku manajer ini berujung pada tingginya kepuasan pemegang saham sehingga manajer mendapat reward atas kinerja keuangan yang baik atau dampak dari kenaikan harga saham (Ding et al., 2007). Salah satu cara yang dilakukan oleh manajer adalah dengan melakukan praktik manajemen laba.
Mengenal Manajemen Laba
Manajemen laba adalah teknik yang dilakukan oleh manajemen untuk mengambil keputusan secara diskresioner dengan memodifikasi beberapa kontrak dan transaksi ekonomi pada perusahaan. Teknik ini dilakukan manajer dengan tujuan memenuhi tuntutan pemegang saham yang cenderung mengharapkan performa perusahaan yang semakin baik. Salah satu cara sederhananya adalah dengan memanipulasi transaksi atau mengubah metode akuntansi (Braam et al., 2015). Umumnya, manajer melakukan praktik ini untuk “menyulap” laba perusahaan yang semakin meningkat setiap tahunnya. Manajemen laba juga dilakukan untuk mendesain laba perusahaan yang stabil dalam rangka menghindari beban pajak yang tinggi. Dampak lain dari manajemen laba adalah rendahnya kualitas laba dan tingkat manipulasi serta kecurangan yang tinggi (Healy, 1985). Praktik manajemen laba juga berlangsung di negara berkembang, termasuk Indonesia. Selain itu, krisis moneter yang terjadi di masa lalu telah berdampak negatif terhadap perekonomian, khususnya performa dan harga saham perusahaan. Hal ini menyebabkan praktik manajemen laba pun meningkat (Persakis & Iatridis, 2015).
Good Corporate Governance sebagai Mitigator Praktik Manajemen Laba
Hingga saat ini, praktik manajemen laba masih menjadi sebuah fenomena yang happening. Para investor, regulator, akademisi, maupun analis keuangan terus menerus berupaya agar manajemen laba setidaknya dapat dicegah sehingga perusahaan akan terhindar dari praktik hasil perilaku oportunis manajer ini. Salah satu langkah preventif yang telah dilakukan adalah implementasi tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG). Tata kelola perusahaan adalah sistem yang menyediakan kerangka kerja untuk memastikan return dari hasl investasi investor (Shleifer & Vishny, 1997). Pembentukan tata kelola perusahaan bertujuan untuk mengontrol kinerja manajer serta melindungi hak pemegang saham sehingga praktik yang berbau kecurangan dapat diminimalisir bahkan dihilangkan. Inisiatif mempromosikan tata kelola perusahaan berasal dari beberapa skandal perusahaan yang terjadi.
Amerika Serikat mempromosikan system ini dengan merilis “Sarbanes Oxley Act (SOX)” pada tahun 2002 atas buntut terjadinya kepailitan perusahaan terkenal (contoh: Enron dan Worldcom). Undang-undang ini lebih menekankan regulasi tata kelola perusahaan yang harus dipenuhi dan dijalankan oleh perusahaan (Sun et al., 2014). Negara lain juga turut andil dalam mengimplementasikan GCG. Di Asia, penerapan GCG telah diperbincangkan sejak krisis 1997 terjadi. Sebagai contoh, pemerintah Malaysia sejak 1998 mendorong menerapkan sistem tata kelola perusahaan yang baik. Alhasil, Malaysia mengeluarkan Malaysian Code of Corporate Governance (MCCG) pada tahun 2007, walaupun pada awalnya belum bersifat wajib bagi seluruh perusahaan. Indonesia juga turur andil dalam penerapan system ini.
Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Menteri Ekonomi, Keuangan, dan Industri membentuk Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) sebagai inisiatif untuk memperbaiki praktik tata kelola perusahaan. Didirikan pada Agustus 1999, tanggung jawab utama KNKG adalah merekomendasikan kerangka kerja nasional untuk penerapan tata kelola perusahaan yang baik. Sejak tahun 1999, komite ini telah menerbitkan Code of Good Corporate Governance sebagai acuan untuk mengatur tata kelola perusahaan yang baik di lingkungan perusahaan publik Indonesia. Terdapat kesadaran yang tinggi dan perbaikan berkelanjutan oleh regulator untuk meningkatkan kualitas tata kelola di Indonesia. Terlebih lagi, tata kelola perusahaan global telah mengalami reformasi dari tahun ke tahun sehingga Kode GCG Indonesia telah dikembangkan dan direvisi juga.
Implementasi tata kelola perusahaan telah banyak dikaji untuk mencegah perusahaan melakukan praktik manajemen laba (Shleifer & Vishny, 1997). Secara keseluruhan, penerapan tata kelola perusahaan yang baik dapat mengurangi praktik manajemen laba. Di Amerika Serikat, hasil penelitian yang dilakukan Sun et al. (2014) dan Zalata et al. (2018) menunjukkan penerapan tata kelola perusahaan yang efektif berhasil meminimalisir manajemen laba. Hasil ini serupa dengan konteks negara di Eropa dimana Habbash (2013) dan Marra et al. (2013) menemukan bahwa kinerja komite audit yang efektif dapat mengurangi angka manajemen laba pada perusahaan di Inggris dan Italia.
Peran tata kelola perusahaan terhadap manajemen laba juga dikaji pada negara di Semenanjung Arab seperti Oman, Bahrain, dan Tunisia. Penelitian oleh Zgarni et al. (2016), Juhmani (2017) dan Qamhan et al. (2018) menunjukkan bahwa mekanisme tata kelola yang efektif mampu meminimalisir manajemen laba di negara tersebut. Selain itu, penegakan tata kelola melalui perancangan undang-undang terkait GCG juga berkontribusi dalam mencegah praktik manajemen laba. Di Indonesia, penelitian serupa oleh Suyono & Farooque (2018), Mahrani & Soewarno (2018), dan Setiawan et al. (2019) juga menemukan bahwa eksistensi dewan komisaris sebagai bagian dari perangkat tata kelola perusahaan di Indonesia dianggap efektif dalam mencegah praktif manajemen laba di Indonesia.
Penutup
Menutup artikel singkat ini, penulis menyimpulkan bahwa praktik manajemen laba yang masih fenomenal di dunia, termasuk di Indonesia, dapat dicegah dengan menerapkan system tata kelola perusahaan yang baik. Para regulator telah berupaya meminimalisir praktik manajemen dengan terus menerus memperbarui system GCG di Indonesia, namun, masih terdapat tantangan yang menjadi PR bersama. Sebagai contoh, praktik korupsi di Indonesia masih tinggi, dan menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia (Prabowo, 2016). Korupsi sangat berkaitan dengan praktik manajemen laba di negara berkembang (Lourenço et al., 2018), termasuk di Indonesia. Contoh lain dapat kita lihat dari skandal yang baru-baru ini terjadi di salah satu emiten, Garuda Indonesia, yang direkturnya dipecat karena penyelundupan ilegal untuk kepentingan pribadi (BBC, 2019). Dari contoh-contoh tersebut, ada kemungkinan tata kelola perusahaan di Indonesia tampaknya belum cukup efektif untuk mengatasi manajemen laba, sehingga diperlukan pembaruan berkelanjutan.
Image: Unsplash