
(ISEFID-KL) Pada hari Jumat, 27 April 2018 lalu diadakan kajian pekanan dengan tema “Memahami Ayat Riba dalam Perspektif Sosial-Ekonomi”. Kajian ini merupakan kajian intermediate dan dibawakan oleh Pak Luqman Hakim Handoko, mahasiswa PhD Economics IIUM. Berbeda dengan pembahasan mengenai riba yang berfokus pada ayat riba di dalam surah Al-Baqarah (2) ayat 275-280, pembahasan pada kajian kali ini terfokus pada ayat-ayat awal yang menyebutkan tentang riba, tepatnya surah Ar-Rum (30) ayat 39. Pemateri pada kajian kali ini mengambil referensi pada kitab I’jazul Qur’anil Karim fi Tahrim Ar-Riba karya Prof. Rif’at Sayyid Al-‘Audhy.
Allah berfirman dalam surah Ar-Rum ayat 39:
وَمَآ ءَاتَيۡتُم مِّن رِّبٗا لِّيَرۡبُوَاْ فِيٓ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ فَلَا يَرۡبُواْ عِندَ ٱللَّهِۖ وَمَآ ءَاتَيۡتُم مِّن زَكَوٰةٖ تُرِيدُونَ وَجۡهَ ٱللَّهِ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُضۡعِفُونَ
Artinya: Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
Hal yang menarik dari ayat di atas ialah di dalamnya dijelaskan mengenai perbandingan antara Riba dengan Zakat. Zakat, sebagaimana dipahami kaum Muslimin adalah bagian dari rukun Islam dan mulai disyariatkan pada tahun ke-2 Hijriyah di Kota Madinah atau pasca hijrah. Sementara itu, para ulama menyebutkan bahwa ayat di atas adalah ayat Makkiyyah, ayat yang turun di Makkah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, pemateri menjelaskan bahwa pembahasan dalam surah Ar-Rum ayat 39 yang berisi tentang perbandingan antara Riba dan Zakat tidaklah terlepas dari ayat sebelumnya, yakni ayat 38 yang berbunyi sebagai berikut:
فَاتِ ذَا ٱلۡقُرۡبَىٰ حَقَّهُۥ وَٱلۡمِسۡكِينَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ لِّلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجۡهَ ٱللَّهِۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ
Artinya: Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang beruntung.
Pada ayat di atas, terdapat suatu kalimat perintah (amr) dengan redaksi “maka berikanlah”, yakni kaum Muslimin telah ada kewajiban untuk mendermakan harta dengan tujuan kepada:
- Kaum kerabat atau sanak famili
- Orang-orang miskin
- Ibnu-sabil atau orang yang berada dalam perjalanan
Zakat dapat dipahami sebagai kewajiban untuk mendermakan harta, namun ketentuan teknis seperti nishab, haul dan jenis harta wajib zakat baru muncul di Madinah. Sementara itu, munculnya tiga golongan penerima atau asnaf “zakat” di atas juga mencerminkan hierarki prioritas filantropi umat Islam dan juga profil dari kaum muslimin saat di Makkah, yang terdiri atas kekerabatan keluarga, kemudian kaum miskin yang menetap (muqim) dan orang-orang nomaden yang umumnya para badui yang senantiasa berpindah tempat (ibnu-sabil).
Maka dari sini, dapat dipahami bahwa konsep yang dipresentasikan Al-Qur’an dalam dua ayat di atas ialah terkait tiga hal:
- Infaq takafuli atau sistem jaminan sosial sebagaimana termaktub pada ayat 38
- Riba
- Zakat
Tiga konsep di atas akan sangat terkait dengan pembahasan aqidah yang muncul sebelum dan sesudah dua ayat di atas. Hal ini setidaknya tercermin dari tujuan dan akibat dari tiga perbuatan di atas yang disebutkan oleh Allah. Infaq Takafuli pada ayat 38 bertujuan untuk meraih ridho Allah dan Allah menjanjikan adanya falah atau keberuntungan dan kesuksesan, di dunia maupun akhirat. Adapun zakat, memiliki tujuan yang sama yakni meraih ridho Allah dan dijanjikan oleh Allah berupa berlipat ganda meskipun secara kasat mata zakat mengurangi harta. Hal tersebut berbeda dengan riba yang bertujuan menambah namun justru berkurang di sisi Allah.
Dalam kacamata ekonomi, secara sederhana ada dua golongan, yakni golongan kaya dan miskin. Golongan kaya diasumsikan sebagai golongan pemilik modal dan produsen, sementara kaum miskin kurang harta dan belum mampu berproduksi secara mandiri. Melalui mekanisme riba, orang kaya akan memberikan sebagian hartanya kepada kaum miskin agar dikembalikan di masa mendatang dengan adanya tambahan berupa bunga. Pada saat transaksi utang-piutang berawal, jarak antara kaya dan miskin berkurang sedikit. Akan tetapi, pada saat pelunasan, orang kaya semakin kaya karena tambahan bunga di samping pokok utang dengan mengambil harta dari si miskin yang semakin miskin. Hal ini menunjukkan bahwa transaksi ribawi justru memperlebar kesenjangan antara orang kaya dan miskin.
Sementara itu, zakat yang nampaknya mengurangi harta orang kaya sebenarnya akan dapat memperkuat daya beli orang miskin. Orang miskin akan membeli dari produsen, yang merupakan golongan kaya sehingga akan menggeser kurva permintaan barang. Output meningkat disertai peningkatan harga. Peningkatan harga karena naiknya permintaan akan ditanggapi produsen untuk memproduksi lebih tinggi untuk meningkatkan pendapatan. Kurva penawaran ikut bergeser, output atau barang yang dihasilkan semakin banyak dan harga kembali lebih murah. Orang miskin dapat hidup lebih baik, orang kaya juga menikmati tambahan pendapatan. Artinya, kesenjangan kaya dan miskin dapat ditanggulangi.
Dapat disimpulkan dari pembahasan ini bahwa sebelum perbaikan ekonomi melalui zakat dan pelarangan riba dapat dioptimalkan, pendidikan akidah kaum Muslimin perlu diperkuat agar riba dapat dijauhi dan sistem sosial Islam, seperti zakat dan infaq dapat ditingkatkan dan manfaatnya dapat direalisasikan. Insyaallah, penerapan syariat Islam di bidang ekonomi akan membawa kemaslahatan bagi umat manusia. Wallahu a’lam.
*diliput oleh Imam Wahyudi Indrawan, mahasiswa Master of Economics IIUM.