Zakat: Ekspektasi vs. Realita
“Eh, coba kamu bayangin deh. Kalau orang islam di komplek rumah kita sholatnya di masjid semua, beuh masjid bakalan penuh”
“Coba aja orang islam di indonesia mengamalkan ajaran agama islam dengan baik, beuh pasti indonesia bisa jadi negara maju, tingkat kriminalitas bisa sedikit, yang korupsi juga bakal sedikit”.
Rasanya dua kalimat diatas merupakan ungkapan yang mungkin sering kita dengar, apapun konteks dan bentuk kalimatnya. Ya, kalimat diatas adalah bentuk pengandaian bahkan dapat menjurus ke penyesalan. Lalu, apa hubungannya dengan zakat?
Tercatat potensi dana zakat tahun 2019 sebesar 233,4 triliun Rupiah. Dana tersebut menyamai sekitar 1 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia. Secara umum, dana APBN bersumber dari pajak dan bukan pajak. Saat ini 80% dari total penerimaan negara berasal dari pajak (sekitar 1.867 triliun rupiah), sedangkan sisanya berasal dari bukan pajak (+/- Rp. 360 T).
Dibanding dengan penerimaan non-pajak, potensi dana zakat tahun 2019 menyumbang lebih dari 50 hingga 70 persen penerimaan negara non-pajak. Jumlah ini lebih besar dari anggaran yang dialokasikan untuk kesehatan, hampir setengah dari anggaran pendidikan, dan lebih besar sedikit dari anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur. Besar? Memang. Namun otoritas dan kita sepertinya harus menarik nafas panjang, karena angka Rp. 233,4 T tersebut hanyalah angka potensi pengumpulan dana zakat masyarakat muslim di Indonesia yang selalu dibangga-banggakan, bukan angka yang sudah terealisasi.
Berdasarkan statistik pengumpulan zakat 5 tahun terakhir bahkan sejak didirikannya BAZNAS, angka pengumpulan dana zakat nasional mengalami kenaikan. Kabar gembiranya adalah dana zakat nasional terkumpul pada tahun 2019 berkisar 10 triliun rupiah, melebihi target yang ditetapkan. Pencapaiannya meningkat hampir seratus persen lebih semenjak adanya otoritas dalam penghitungan zakat secara nasional. Alih-alih terus mengeluh-eluhkan potensi zakat yang sangat besar, tidak berlebihan rasanya bila kita mencoba lebih realistis dalam memandang potensi zakat tersebut. Dengan asumsi dari data pengumpulan dana zakat nasional, jumlah dana zakat yang terkumpul baru mencapai 4% dari potensinya walaupun memang mengalami tren kenaikan dari tahun ke tahun.
Membuat simulasi pengasumsian dana zakat yang terkumpul serta mensimulasikan pertumbuhan dana zakat yang mungkin nantinya akan menjadi sebuah target merupakan langkah yang lebih bijak dalam menyikapi potensi zakat dalam negeri baik bagi subjek regulator, maupun stakeholder zakat lainnya, sehingga kita tidak terlalu memandang berlebihan. Karena, apabila telah mengasumsikan besaran persentase dana zakat yang terukur, kemungkinan akan lebih mudah bagi kita dalam membuat program atau terobosan untuk mencapai angka tersebut.
Mungkin sudah sangat banyak kajian terkait hal diatas dalam skala nasional. Namun bagaimana dengan skala daerah seperti provinsi, kabupaten, kota, kecamatan hingga lingkup desa? Sangat wajar mengatakan hal tersebut sangat penting, karena selain mendorong untuk melahirkan peraturan daerah dalam optimalisasi zakatnya, hal tersebut juga mendorong kemajuan literasi zakat di lingkup daerah.
Mengoptimalkan Pengumpulan Zakat: Kita Harus Apa?
banyak cara yang dapat kita lakukan agar dana zakat ini terkumpul secara lebih optimal, bahkan mendekati angka potensinya. Menurut Dr. Irfan Syauqi Beik,Direktur Pemberdayaan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), ada 2 rekomendasi untuk mencapai hal tersebut. Pertama adalah dengan memandatorisasi regulasi zakat. Maksudnya adalah, perlunya dorongan atau desakan agar adanya sebuah regulasi dari negara yang mengatur tentang zakat di Indonesia agar bersifat mandatory atau memaksa bagi warga yang wajib membayar zakat (muzakki). Yang kedua adalah dengan mendorong agar zakat menjadi sebagai tax credit; zakat dijadikan sebagai insentif pemotong pajak secara langsung. Mengingat saat ini zakat hanya menjadi pemotong penghasilan kena pajak, menjadikan zakat sebagai pengurang pajak juga merupakan strategi yang dirasa efektif untuk menarik minat muzakki membayar zakat.
Terlepas dari perdebatannya, memang angka pencapaian dana zakat selama ini tidak serta merta terjadi secara instan. Berbagai upaya telah dilakukan oleh berbagai pihak. Dalam lingkup pemerintahan, anggota parlemen senantiasa memperjuangkan regulasi zakat dalam forum persidangan. Di ranah akademisi, para peneliti, pengajar, atau pihak terkait terus berikhtiar agar literasi zakat kian membaik. Tak lupa di lapangan, otoritas atau lembaga terkait zakat terus menyosialisasikan pentingnya zakat, mencari inovasi serta terus berkolaborasi agar zakat kian diminati dan berdampak lebih dalam pemanfaatannya.
Penutup
Diakhir, mengubah pandangan kita mengenai potensi zakat dan mencoba memandangnya dengan lebih realistis akan sangat bijak dan bajik rasanya bagi kita. Diharapkan pula akan lahir setelahnya program atau produk yang baik nan terukur untuk mencapai angka targetan pengumpulan dana zakat tersebut.
Seperti ungkapan yang senada dengan kalimat pembuka, “buat apa terus mengelukan penuhnya masjid karena semua orang shalat disana?”, rasanya lebih baik diganti menjadi berusaha dan berfikir bagaimana caranya agar orang-orang yang shalat di masjid kian bertambah”. Mengganti mindset akan membuat kita jauh lebih baik, begitupun dalam pengoptimalan zakat di Indonesia.