(ISEFID-KL) Seperti biasanya, ISEFID mengadakan kajian pekanan pada hari Jumat, 30 Maret 2018. Pada kesempatan kali ini, ISEFID mengundang Zein Muttaqin, mahasiswa PhD Economics yang juga merupakan dosen di Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Dalam kajian yang bertajuk “The Nature of Excessive Behaviour In Islamic Economic Framework: An Investigation”, beliau memaparkan tentang bagaimana konsep perilaku konsumen atau consumer behavior, baik dari perspektif ekonomi konvensional maupun ekonomi Islam.
Dalam paparan awal, menyitir pendapat Adnan (2011), pemateri menyampaikan bahwa meskipun ekonomi konvensional, khususnya teori ekonomi mikro memberikan perhatian kepada perilaku konsumen, namun pada kenyataannya teori-teori tersebut gagal untuk mengedukasi konsumen untuk melakukan konsumsi secara etis. Hal ini dapat terlihat dari begitu banyaknya konsumsi yang bersifat boros dan menyia-nyiakan sumber daya ekonomi yang telah diproduksi.
Lebih lanjut, menyitir pernyataan Anup Shah (2008), pemateri menyatakan bahwa perilaku konsumsi yang tampak hari ini telah menciptakan kerusakan lingkungan dan kesenjangan pendapatan dengan tingkat yang semakin cepat. Hal tersebut apabila tidak diantisipasi dengan baik akan memperburuk kondisi kesejahteraan umat manusia. Pemaparan di atas menunjukkan bahwa pemahaman atas perilaku konsumen merupakan salah satu hal fundamental dalam perbaikan perekonomian.
Berkaitan dengan perilaku konsumen sendiri, definisi yang digunakan dalam ilmu ekonomi adalah “cara konsumen rasional dalam menentukan pilihan barang atau jasa” (Cornescu & Adam, 2015). Pada aplikasinya dalam tataran keilmuan, teori berkaitan dengan perilaku konsumen selalu dikaitkan dengan upaya konsumen memutuskan pilihan barang atau jasa dalam rangka memaksimalkan kepuasan (utility). Hal ini dikritik oleh Khan (2013) yang melihat bahwa teori-teori perilaku konsumen yang ada mengesampingkan peran etika dan moral sehingga teori konsumsi pada gilirannya mengabaikan isu-isu sosial seperti pengentasan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan dan keduanya dianggap bukan isu dalam arus utama ilmu ekonomi (mainstream economics).
Selanjutnya, pemateri menyampaikan empat jenis perilaku konsumen dalam teori ekonomi konvensional. Pertama, maintenance atau pemeliharaan. Perilaku konsumen pada bagian ini didasarkan pada upaya pemuasan keinginan (utility) yang rendah pada objek konsumsi serta didorong oleh faktor informasi eksternal yang rendah. Di antara contohnya adalah seseorang makan, tidur atau membayar yang tidak terlalu memberikan kepuasan tinggi karena merupakan kebutuhan rutin dan/atau kewajiban yang sudah harus dipenuhi tanpa perlu dipersuasi lebih lanjut.
Kedua, accumulation atau penghimpunan. Perilaku konsumen ini juga didasarkan pada pemuasan keinginan yang rendah pada objek konsumsi namun diperkuat oleh faktor informasi eksternal yang tinggi. Misalkan seorang konsumen yang rajin mengumpulkan kupon belanja dari toko ritel karena iming-iming toko akan barang gratis.
Ketiga, hedonism atau hedonisme. Perilaku konsumen ini tidaklah didasarkan oleh faktor informasi yang tinggi, namun karena hasrat yang kuat akan pemuasan keinginan. Misalkan seseorang mengikuti tren rambut dan pakaian terbaru mengikuti artis idolanya atau rakyat membeli sepatu yang digunakan oleh pemimpin negara saat kunjungan dinas.
Keempat, accomplishment atau pencapaian. Perilaku konsumen ini didasarkan oleh hasrat pemuasan keinginan yang kuat serta faktor informasi yang tersedia lengkap. Misalkan seseorang yang hendak membeli mobil baru menginginkan mobil yang mewah, nyaman digunakan dan sesuai dengan kebutuhan mobilitasnya.
Setelah memahami konsep perilaku konsumen dalam perspektif ekonomi konvensional, lalu bagaimana dengan ekonomi Islam? Islam sebenarnya telah memiliki konsep tersendiri mengenai perilaku konsumen. Konsep tersebut didasarkan pada syariah yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Dua wahyu tersebut memuat ajaran-ajaran dan nilai-nilai yang dapat menuntun perilaku seorang Muslim baik dalam hubungannya kepada Allah dan juga kepada sesama manusia. Ajaran-ajaran tersebut diharapkan akan membawa dampak positif pada perilaku individu, termasuk dalam berkonsumsi.
Pemateri kemudian menyampaikan konsep maqashid syariah atau tujuan syariat Islam. Konsep tersebut, khususnya yang berasal dari sintesis Al-Ghazali dan Al-Syatibi, berisi penjagaan atas lima elemen penting kehidupan, yakni agama (din/faith), kehidupan (nafs/life), akal (‘aql/intellectual), keturunan (nasl/posterity), dan harta (mal/wealth). Para ulama kemudian mengembangkan konsep pemenuhan lima elemen di atas dalam tiga tahapan.
Pertama, dharuriyat yakni kondisi ketika lima elemen di atas sekedar terpenuhi. Seperti misalkan seseorang shalat agar tidak tergolong sebagai orang kafir dan seseorang bekerja untuk bisa membeli makanan dan menabung, sehingga menjaga kehidupan dan harta sekaligus. Kedua, hajiyat yakni kondisi ketika perlindungan lima elemen di atas diperkuat. Misalkan seseorang bekerja dilengkapi oleh kendaraan sehingga bisa sampai tempat kerja tanpa waktu yang lama di jalan. Ketiga, tahsiniyat yaitu kondisi ketika perlindungan lima elemen di atas berada dalam kondisi yang lebih baik lagi. Misalkan seseorang bekerja dilengkapi oleh kendaraan dinas yang bagus oleh perusahaan dilengkapi oleh supir, sehingga dapat fokus dalam bekerja tanpa berpikir tentang transportasi. Pemateri menyampaikan pandangan bahwa pemenuhan maqashid syariah cenderung bersifat objektif sehingga tidak bisa dipukul rata pada semua orang, melainkan harus memperhatikan konteks yang ada.
Selanjutnya, perilaku konsumen dalam Islam juga memperhatikan konsumsi yang berlebih, yang dalam Islam dinamakan sebagai israf dan tabdzir. Mengutip seorang cendekiawan asal UMY, pemateri menyampaikan bahwa israf adalah kondisi ketika seseorang mengonsumsi sesuatu secara berlebihan namun tidak mendatangkan manfaat baginya. Sementara itu, tabdzir ialah perilaku konsumsi ketika konsumsi bersifat bermewahan atau membuang sumber sehingga justru menghilangkan keberkahan dari objek konsumsi tersebut.
Salah satu ahli ekonomi Islam yang mengkaji tentang perilaku konsumsi ini adalah Asad Zaman, yang mengajukan sebuah grafik dengan sisi absis (sumbu x) ialah jumlah konsumsi, yang ia golongkan tingkatannya yakni dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat serta suatu batas yang apabila seseorang mengonsumsi sesuatu di atas batas tersebut, maka ia tergolong israf. Sementara itu, pada sisi ordinat (sumbu y) adalah pahala di hari akhir, yang hal ini terkait dengan derma sosial seperti infak, sedekah dan zakat. Akan tetapi, konsep ini banyak dikritik karena membawa ekonom pada hal yang tidak dapat diukur, yakni pahala.
Pemateri selanjutnya memberikan ringkasan praktis mengenai jenis-jenis perilaku yang bersifat tabdzir atau menyia-nyiakan sumber daya. Pertama, mengeluarkan uang untuk sesuatu melebihi yang dibutuhkan. Kedua, mengonsumsi suatu komoditas lebih dari yang dibutuhkan. Ketiga, mengeluarkan uang pada sesuatu yang tidak terlalu prioritas namun dengan biaya sebesar atau lebih besar dari kebutuhan yang bersifat prioritas. Keempat, mengeluarkan uang pada sesuatu yang bersifat bukan kebutuhannya dan tidak membawa dampak positif bagi kemanfaatan dirinya.
Lebih lanjut, pemateri menyampaikan bahwa perilaku konsumsi dalam Islam itu adalah pertengahan di antara dua ekstrim. Ekstrim yang pertama adalah perilaku kikir, yakni enggan mengeluarkan harta pada kebutuhannya meskipun memiliki kemampuan bahkan terkadang kikir pada diri sendiri. Ekstrim yang kedua adalah perilaku boros, mengeluarkan harta tanpa memperhatikan kemampuan dan melebihi kebutuhan. Seorang Muslim diharapkan menjadi seorang konsumen yang berperilaku moderat, di antara dua ekstrim di atas. Seseorang yang berperilaku ekstrim pada kehidupan personal dan sosial cenderung juga akan memiliki pandangan ekstrim akan agama. Dan pada dasarnya, tiga jenis perilaku konsumsi dapat dikaji dari elastisitas pendapatan seorang konsumen.
Masih terkait tiga perilaku konsumen di atas, pemateri juga menyampaikan bahwa seorang ulama, yakni Imam Asy-Syaibani dalam kitab Al-Kasb menyampaikan bahwa seorang Muslim harus memiliki pengeluaran yang moderat. Artinya tidak terlalu kecil yang menjadikannya kikir dan tidak terlalu besar yang menjadikannya boros. Oleh karena itu, pemateri menyampaikan bahwa hendaknya perilaku konsumsi dalam Ekonomi Islam harus mempromosikan gaya hidup yang moderat nan seimbang dalam rangka pemenuhan kebutuhan, alih-alih memaksimalkan pemenuhan kepuasan sebagaimana dalam ekonomi konvensional.
*diliput oleh Imam Wahyudi Indrawan, mahasiswa Master of Economics IIUM.