Potensi dan Kontribusi Wakaf di Indonesia

(Isefid-KL) Jumat, 9 Maret 2018, ISEFID menghadirkan Lisa Listiana, mahasiswi PhD IIUM Institute of Islamic Banking and Finance, sebagai pembicara kajian rutin. Beliau memaparkan tentang wakaf yang menjadi cikal bakal topik risetnya. Ciri utama wakaf yang sangat membedakan dengan bentuk sedekah atau donasi yang lain adalah bentuk harta benda wakafnya kekal dan memberikan manfaat secara berkelanjutan tanpa melanggar ketentuan-ketentuan syariah. Melalui wakaf diharapkan akan terjadi proses distribusi manfaat bagi masyarakat secara lebih luas, dari manfaat pribadi (private benefit) menuju manfaat sosial (social benefit).

Pada umumnya landasan hukum syariah wakaf adalah mengacu kepada hadits tentang perolehan tanah khaibar oleh Umar bin khattab yang kemudian tanah tersebut diwakafkan kepada kaum muslimin. Selain itu, ada juga hadits riwayat Imam Muslim yang berbunyi, “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara yaitu, sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan doa anak yang sholeh.” Berbeda dengan zakat yang memiliki ketentuan dari nash untuk disalurkan hanya kepada delapan ashnaf, wakaf cenderung lebih fleksibel untuk dikelola dan didistribusikan hasilnya kepada para penerima manfaat, kecuali kalau ada permintaan khusus dari pewakaf yang termaktub dalam ikrar wakaf (waqfiyyah).

Menurut UU nomor 41/2004 tentang wakaf, wakaf adalah perbuatan hukum wakif (orang yang berwakaf) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Dalam UU tersebut setidaknya ada enam unsur wakaf. Pertama, orang/organisasi/badan hukum yang berwakaf (wakif). Kedua, jenis harta benda yang bisa diwakafkan (maukuf), baik itu aset tidak bergerak seperti tanah dan bangunan atau juga aset yang bergerak seperti uang tunai, logam mulia, surat berharga dan kendaraan. Ketiga, ikrar wakaf (waqfiyyah) dan adanya dua orang saksi. Keempat, peruntukan wakaf sebagaimana yang tercantum dalam waqfiyyah. Kelima, nadzir atau pengelola wakaf. Keenam, jangka waktu wakaf, apakah permanen ataukah hanya temporer.

Tercatat sudah beberapa regulasi yang dirilis untuk mengatur kegiatan perwakafan di Indonesia. Selain UU Nomor 41 tahun 2004 yang menjadi tonggak awal ekspansi lingkup wakaf yang lebih luas dan tidak hanya tanah dan bangunan ibadah, terdapat pula Peraturan Menteri Agama (PMA) Republik Indonesia nomor 4 Tahun 2009 tentang Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang, PMA RI Nomor 73 Tahun 2013 tentang Tata Cara Perwakafan Benda Tidak Bergerak dan Benda Bergerak Selain Uang, Keputusan Menteri Agama RI tentang Penetapan Bank Syariah sebagai LKS-PWU (Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang) dan juga Peraturan Badan Wakaf Indonesia.

Di Indonesia, terdapat dua regulator yang menangani urusan wakaf yakni, Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementrian Agama RI dan Badan Wakaf Indonesia (BWI). BWI merupakan lembaga independen yang dibentuk pada tahun 2007 untuk memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional.

Sejarah mencatat bahwa di masa lalu wakaf mampu menyediakan berbagai fasilitas publik, termasuk fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, fasilitas peribadatan, dan berbagai fasilitas lain yang membantu masyarakat miskin dan membutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Sebagian masih mengalirkan manfaat hingga saat ini. Bahkan beberapa pakar menyatakan bahwa selain Al Azhar Mesir, beberapa universitas terbaik dunia, seperti Harvard, Oxford dan Cambridge juga mengadopsi konsep wakaf (endowment-based university).

Adapun data terkait potensi wakaf di Indonesia, Kementerian Agama RI hanya memiliki data wakaf yang berupa tanah dan bangunan. Sistem Informasi Wakaf (Siwak) Kemenag mencatat bahwasanya terdapat 333.562 lokasi wakaf yang tersebar di seluruh tanah air dengan luas total mencapai 49.516,87 hektar. Proporsi terbesar dari aset wakaf tersebut adalah berupa masjid (45%) dan musholla (28,5%). Sisanya terbagi menjadi sekolah, pesantren, makam, dan lain-lain. Namun, berbeda dengan data Siwak Kemenag, BWI (berdasarkan data dari Kemenag) mencatat bahwa aset wakaf jumlahnya sebanyak 435.768 lokasi dengan luas area mencapai 435.944 hektar. 287.160 aset di antaranya sudah memiliki sertifikat wakaf, sedangkan 148.447 sisanya belum bersertifikat wakaf. Meski berasal dari sumber yang sama, yakni Kemenag, data BWI tersebut sangatlah kontras dengan data tercatat di Siwak Kemenag. Luas lahan wakaf yang tercatat oleh BWI hampir 10 kali lebih besar dari yang tercatat di Siwak Kemenag.

Masterplan Arsitektur Keuangan Syariah Indonesia (MAKSI) yang diterbitkan oleh BAPPENAS merinci setidaknya terdapat sembilan permasalahan terkait wakaf yang telah diidentifikasi. Pertama, kurangnya anggaran. BWI mendapatkan suntikan dana dari pemerintah sebesar sekitar Rp 5-6 Miliar per tahun. Dana tersebut dirasa tidak cukup untuk biaya operasional BWI dan upayanya untuk terus mengembangkan dan mensosialiasikan wakaf. Kedua, dualisme tanggung jawab pengelolaan wakaf antara BWI dan Kementerian Agama. Yaitu terdapat tumpang tindih dalam urusan tugas pokok dan fungsi. Ketiga, inefisiensi pada struktur tata kelola BWI. Jumlah personil BWI sekitar 20-30 orang dirasa menambah beban biaya yang tidak perlu. Keempat, terbatasnya akses wakaf uang. Meskipun sudah ada 16 LKS PWU dan juga 170an nadzir wakaf uang, realisasi wakaf uang masih saja belum menunjukkan hasil yang signifikan. Perlu inovasi baru untuk menambah akses penerimaan wakaf uang dari masyarakat.

Kelima, kurangnya pengawasan terhadap nadzir. Keenam, kurangnya regulasi pendukung implementasi investasi aset wakaf. Menyandang status sebagai aset wakaf tentu membuat pengelolaan aset cenderung sangat hati-hati. Namun demikian, kehati-hatian tersebut juga berdampak pada pengelolaan investasi yang konservatif sehingga belum bisa memberikan hasil yang optimal. Ketujuh, kurangnya sinkronisasi dengan peraturan lain termasuk pajak. Tidak seperti halnya di Afrika Selatan, di mana uang yang dibayarkan oleh wakif bisa dihitung sebagai pengurang pajak, hal tersebut belum berlaku di Indonesia. Hanya zakat yang diperbolehkan oleh UU. Itupun hanya menjadi pengurang Pendapatan Kena Pajak (PKP) dan bukan sebagai pengurang pajak (tax credit). Kedelapan, kurangnya kesadaran masyarakat. Stigma di masyarakat bahwa wakaf hanyalah untuk masjid, madrasah, pesantren dan makam masih sangat kuat. Sehingga perlu sosialisasi yang lebih masif lagi untuk wakaf, terutama wakaf uang. Kesembilan, kurangnya jumlah nadzir yang terdaftar untuk menjalankan kegiatan operasionalnya.

Pemateri juga menyoroti ketersediaan data/informasi seputar wakaf di Indonesia dan mengusulkan agar BWI bekerja sama dengan BPS untuk melakukan sensus wakaf nasional. Dengan memiliki data yang komprehensif tentang potensi wakaf, diharapkan dapat memperbesar peluang pengembangan  dan pengelolaan aset wakaf yang lebih baik. Selain itu, kompetensi sumber daya nadzir wakaf juga perlu mendapatkan perhatian. Karena berhasil atau tidaknya pengelolaan wakaf sangat bergantung pada kompetensi nadzir itu sendiri. Jangan sampai karena menjadi nadzir dianggap sebagai tugas selayaknya seorang relawan, sehingga aspek kompetensi pun diabaikan.

Terakhir, pemateri memberikan beberapa tips kepada para peserta kajian untuk ikut berkontribusi dalam memajukan perwakafan di Indonesia. Pertama, mengambil riset tentang wakaf. Diperlukan lebih banyak lagi penelitian/studi ilmiah untuk mendorong inovasi wakaf. Kedua, berbagi ilmu seputar wakaf kepada orang-orang disekitar kita. Semakin banyak orang yang sadar akan wakaf, diharapkan semakin meningkat juga partisipasi masyarakat. Ketiga, bisa dengan turut berwakaf (menjadi wakif) ataupun bergabung atau menjadi nadzir wakaf. Keempat, bergabung di Waqf Center for Indonesian Development and Studies (WaCIDS), yaitu sebuah wadah yang diinisiasi oleh pemateri untuk diskusi dan kolaborasi strategis antara akademisi maupun praktisi yang memiliki concern di bidang wakaf.

*diliput oleh Vicky Vendy, mahasiswa MSc Accounting IIUM.

News Reporter
Isefid Adalah sebuah forum ekonomi islam yang berjuang untuk membangun indonesia lebih baik kedepannya dengan berlandaskan ajaran ajaran islam

Leave a Reply

%d bloggers like this: