(ISEFID-KL) Kajian rutin ISEFID kali ini, Jum’at, 6 April 2018, disampaikan oleh Ahlis Fatoni berkaitan dengan akad dan wa’ad dalam jual beli. Dalam kajian fiqh muamalah, pembahasan tentang akad merupakan hal mendasar dan menjadi pondasi awal untuk pembahasan-pembahasan selanjutnya. Secara garis besar, akad ada dua jenis. Pertama, akad tabarru, yang didalamnya bertujuan untuk tolong menolong seperti hadiah, shodaqah, infaq, zakat, dan wakaf. Sedangkan jenis lainnya adalah akad mu’awadat atau yang lebih kita kenal dengan akad tijari. Akad ini menghendaki ada perpindahan harta diantara pihak-pihak yang melakukan akad. Dalam kesempatan ini, Kak Ahlis mengkhususkan pembahasan tentang akad dari sisi ba’i/jual beli atau akad mu’awadat.
Secara bahasa, akad artinya ikatan, mengencangkan, menjamin, atau perjanjian. Mengikat tali, bahasa arabnya: عَقَدَ الحَبْلَ . Sesuatu yang terikat disebut ma`qud. Dalam bai’, akad adalah ikatan antara beberapa pihak transaksi melalui ijab dan qabul. Akad sendiri secara eksplisit terdapat dalam al-Qur’an yaitu surat al-Maidah ayat 1:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.”
Secara yuridis terdapat pula definisi akad yaitu dalam UU No 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Pasal 1 Nomor 13 ini menyatakan bahwa
“Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank syariah dan Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah”.
Dalam akad terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar akad menjadi sah. Jika rukun dan syarat tidak terpenuhi akad menjadi batil (batal) atau akad bisa menjadi fasid (rusak) jika rukun sudah terpenuhi, tapi ada syarat yang kurang. Demikianlah pentingnya rukun dan syarat dalam akad.
Adapun rukun akad (ba’i) ada tiga yakni adanya pelaku yang melakukan transaksi (penjual dan pembeli), adanya ma’qud alaih (objek transaksi) serta shigah / pernyataan ucapan ketika transaksi berlangsung. Kemudian syarat akad dalam ba’i ada beberapa macam yaitu:
- Saling ridha antara kedua-belah pihak. Ketika ada pemaksaan dalam akad maka akad nya batal. Namun terdapat pengecualian jika pemaksaan tersebut untuk membayar utang. Sebagai contoh, Qadhi atau hakim memaksa penjual untuk menjual barangnya agar penjual tersebut dapat membayar hutang. Maka pemaksaan dalam kasus ini diperbolehkan demi terbayarnya hutang.
- Pelaku akad adalah rusyd. Pengertian rusyd adalah seseorang yang telah baligh dan berakal serta memiliki kemampuan untuk mengelola harta. Lalu bagaimana dengan anak kecil yang belum baligh?? Sebagian ulama berpendapat, jika akad jual beli yang dilakukan itu kecil-kecilan seperti anak-anak memberi jajanan maka tetap sah akadnya. Namun ulama lain berpendapat bahwa sahnya akad jika anak tersebut menggunakan fulus (uang dari besi).
- Objek transaksi telah dimiliki (oleh penjual). Hal ini bertujuan untuk menghindari gharar di dalamnya.
- Objek transaksi adalah yang dibolehkan agama. Berkaitan dengan barang yang haram atau barang yang dimanfaatkan untuk hal yang haram adalah tidak diizinkan oleh agama. Beberapa barang yang dilarang adalah babi, khamr, bangkai, darah, kucing dan anjing. Untuk kucing, pemateri menjelaskan bahwa penjualan kucing peliharaan dibolehkan karena yang dijual hakikatnya adalah biaya pemeliharannya bukan dzat kucing tersebut.
- Objek transaksi diketahui saat akad. Adapun cara mengetahuinya bisa dengan melihat barang secara langsung atau memperhatikan ciri-ciri yang diberitahukan penjual. Seiring dengan berkembangnya teknologi, teknik promosi detail produk juga bermacam-macam. Dan pada hakikatnya cara apapun yang dapat menjadi perantara untuk mengetahui barang secara detail, itu diperbolehkan. Hal ini untuk menghindari penipuan.
- Objek transaksi bisa diserahterimakan. Semisal ikan yang masih didalam kolam atau di laut, maka tidak bisa diserahterimakan
- Adanya kesepakatan harga. Dalam promosi biasanya juga mencantumkan detail harga setiap barang. Maka pembeli harus memastikan harga barang tersebut beserta cara pembayarannya.
Lebih lanjut, pemateri memaparkan bahwa akad boleh dilakukan kapan saja kecuali pada saat berjamaah solat jumat. Namun beberapa ulama menyatakan bahwa pelarangan ini hanya untuk orang yang wajib melakukan solat jumat yaitu laki-laki. Karena wanita dan anak-anak tidak wajib solat jumat, maka dalam waktu tersebut mereka boleh melakukan transaksi jual beli. Hal ini tentu saja di luar masjid. Karena semua ulama sepakat bahwa transaksi jual beli baik langsung atau melalui media online boleh dimanapun kecuali di dalam masjid.
Tidak selamanya akad sampai pada waktu yang disepakati diawal. Akad bisa berakhir ketika menghadapi beberapa kondisi seperti apabila masuk tenggang waktu akad atau dibatalkan oleh para pihak yang ber-akad. Akad juga bisa berakhir karena dinyatakan fasad, berlakunya syarat khiyar, atau akad itu tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak. Yang terakhir, apabila salah satu pihak dalam akad meninggal dunia.
Kemudian, apa bedanya akad dengan wa’ad (janji)? Beberapa orang menganggap bahwa akad dan wa’ad itu sama. Pemateri menyampaikan jika akad itu memberikan konsekuensi adanya ikatan, maka wa’ad hanya janji dari satu pihak ke pihak lainnya. Dengan demikian, tidak ada tanggung jawab atau kewajiban apa-apa bagi pihak yang memberi wa’ad. Dalam pandangan hukum, wa’ad boleh dibatalkan karena ia tidak memiliki implikasi hukum. Akan tetapi menjadi kurang tepat jika kita memandang wa’ad sebagai amanah yang seharusnya ditunaikan, namun tidak dilaksanakan.
Wallahu a’lam.
Disarikan Oleh: Neneng Ela Fauziyyah (Master of Economics, IIUM)